Bagi orang yang berasal dari Kabupaten Gunungkidul, tidak asing dengan makanan thiwul dan gathot. Dahulu kala, tiwul bagi daerah pegunungan Gunungkidul merupakan makanan pokok pengganti nasi beras dan menjadi makanan pokok sehari-hari. Sedangkan gatot merupakan makanan camilan. Kedua jenis makanan ini dibuat dari bahan ketela pohon atau singkong yang sudah dikerimngkan. Namanya gaplek. Selain Gunungkidul, makanan ini juga dapat ditemui di Wonogiri dan Pacitan). Ketiga daerah tersebut dikenal dengan daerah yang sulit air. Dibanding beras, kandungan kalori tiwul dan gatot lebih rendah. Karena berbahan dasar singkong, makanan ini lebih banyak serat. Baik untuk diet kalori karena dengan makan tiwul dan gatot, perut tidak mudah lapar.
Secara geologis, wilayah Kabupaten Gunungkidul sebagian besar didominasi oleh batuan kapur. Salah satu karakter batu kapur adalah mudah meloloskan air. Hujan tahunan di wilayah ini relative masih tinggi (sekitar 2500-3500 mm/tahun). Dengan karakter geologis kapur tersebut maka hujan yang jatuh selama musim hujan (5-6 bulan) banyak mengalir ke bawah.
(lihat juga videonya….klik disni)
Jadilah sungai-sungai bawah tanah. Stalaktit dan stalakmit juga banyak ditemui di gua-gua wilayah yang geologisnya didominasi kapur. Dengan demikian, saat musim kemarau, air sulit ditemu di permukaan tanah. Hal ini yang menyebabkan wilayah menjadi sulit air. Tiwul dan gatot sering dikesankan dengan masyarakat miskin. Apalagi kabupaten Gunungkidul pernah terjadi bencana kelaparan tahun 1963an karena musim kemarau panjang dan sulitnya mendapatkan beras. Pada saat itu masyarakat Gunungkidul pernah merasakan makan bulgur, bantuan makanan dari Amerika. Bulgur dibuat dari jagung kering yang dipotong kecil-2. Di Amerika, bulgur ini biasa untuk campuran makanan hewan ternak, seperti babi dan sapi. Bahkan saat itu, kulit ketela pohon yang dijemur dan dikeringkanpun (disebut gaber) laku dijual untuk dimasak sebagai makanan.
Apa hubungan air dengan tiwul dan gatot ?
Makanan pokok masyarakat saat erat hubungannya dengan alam, teruama iklim dan tanah. Tiwul dan gatot merupakan cermin masyarakat yang erat dengan kondisi alam wilayah Gunungkidul dengan formasi geologi kapur dan air permukaan yang terbatas. Walaupun air sebetulnya berlebihan saat musim hujan.
Jaman dahulu sebelum ada fasilitas bangunan irigasi, masyarakat tani di wilayah ini terbiasa dengan menanam tanaman pangan sesuai dengan musim dan karakter tanah. Polanya padi gogo-palawija/ketela pohon. Pada saat mulai musim hujan (rendeng), petani menanam padi gogo yang berumur 3 setengah dampai 4 bulan. Setelah panen, padi ini disimpan dalam lumbung padi untuk persediaan makanan. Hampir setiap keluarga mempunyai limbumng padi saat itu. Saya ingat betul waktu masil kecil, orang tua saya yang pedagang dan bukan petani selalu membeli padi saat panen dan menyimpannya di lumbung padi. Setelah panen padi memasuki musim peralihan ke musim kemarau. Pada saat ini petani menanam palawija, terutama kacang dan kedele yang berumur 3 bulan. Panen palawija merupakan panan raya bagi masyarakat tani Gunungkidul saat itu. Hasil jualan panen palawija dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari di luar makanan, seperti pakaian dan keperluan lainnya. Selain itu juga untuk membeli hewan ternak (kambing atau sapi) sebagai simpanan aset keluarga.
Bersamaan dengan tanam palawija biasanya petani mencampur dengan tanaman ketela pohon yang berumur 9-10 bulan. Kalau dirasakan musim kemaraunya panjang. Tanaman ketela pohon inilah yang berfungsi sebagai cadangan makanan di musim kemarau setelah cadangan padi di lumbung habis. Panen ketela pohin dikupas dan dijemur supaya kering untuk diawetkan. Jadilah gaplek. Gaplek dibuat powder sebagai bahan makanan tiwul. Gaplek di pecah-peaah kecil, dibuat makanan kecil dicamour dengan cairan gula jawa dan parutan kelapa, disebut gatot.
Epilog
Tanpa harus mengurangi apresiasi terhadap penyediaan pangan berupa beras oleh pemerintah, baik melalui pembangunan sarana irigasi untuk lahan sawah atau penyediaan beras melalui impor, menimbulkan implikasi pada bergesernya budaya makan yang justru berkembang secara alamiah berbasis kondisi alam, seperti tiwul dan gatot. Semakin mudahnya mendapatkan bahan pangan berupa beras sekarang ini, maka menggeser tiwul sebagai bahan pangan pokok dan gatot sebagai makanan camilan. Padahal masyarakat petani di wilayah seperti Gunungkidul sudah bertahun-tahun akrab dengan alam dalam kaitannya dengan menjamin keberlanjutan kehidupan, khusunya penyediaan pangan. Phenomena serupa juga bisa diamati untuk masyarakat Papua yang menggunakan