Gaber adalah ampas tepung tapioca atau bungkil ketela pohon yang dikeringkan. Sekarang gaber dipakai untuk campuran makanan ternak. Gaber menjadi bahan pangan pokok saat terjadi krisis pangan di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta tahun 1963. Sehingga dikenal Jaman Gaber. Jaman Gaber merupakan jaman sulit makan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 1963. Bagi warga Gunungkidul yang pada tahun itu sudah cukup umur untuk merasakan sulitnya pangan tidak akan pernah lupa. Saya sendiri salah satu warga asli Gunungkidul yang saat itu umur 12 tahun. Masih di Sekolah Dasar klas 6. Beras tidak ada di pasar dan masyarakat tidak mampu membeli beras.
Mengapa terjadi jaman gaber?
Posisi Indonesia dalam hal pangan sudah sangat memprihatinkan. Laju penyediaan pangan utama tidak bisa mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Besar dan macam jumlah impor pangan sudah memasuki ke dalam fase mendekati kehilangan kedaulatan pangan. Bahkan beberapa referensi mengatakan, ibarat penyakit kondisinya sudah memasuki stadium empat.
Dalam kondisi seperti ini saya jadi ingat jaman gaber. Kebanyakan orang sepertinya tidak pernah merasakan bagaimana memproduksi bahan pangan itu memerlukan proses panjang. Kebijakan pangan harga murah mempunyai implikasi negative pada masyarakat banyak yang terkesan tidak menghargai proses produksi pangan. Untuk generasi sekarang yang tidak pernah mengalami jaman gaber, mungkin tidak pernah merasakan makan gaber dan bulgur. Kalau gaber adalah ampas tepung tapioka atau bungkil ketela pohon yang dikeringkan. Bulgur berasal dari jagung kering yang di pecah-pecah kecil.
Bulgur merupakan bantuan Amerika saat krisi pangan di Gunungkidul. Di Amerika bulgur untuk makanan ternak.
Lihat juga videonya….klik disini
Saat jaman gaber, terjadi phenomena yang sangat menyentuh hati. Beras menjadi barang sangat langka dan susah didapat. Banyak orang tidak bisa membeli beras karena kalau ada harganyua mahal sekali. Orang-orang desa yang kekurangan pangan pada pergi ke kota Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul. Untuk cari kerja buat makan. Karena peluang kerja juga susah, sebagian juga karena sudah tidak punya apa-apa lagi. Berawal dari penjualan satu persatu barang berharga miliknya. Dimulai dari hewan ternak, kandang ternak, pintu dan jendela rumah, genteng rumah, kayu-kayu penopang rumah, sampai semua rumah hanbis dijual hanya untuk makan. Setelah itu pergi ke kota Wonosari mengais ngais makanan. Sasarannya tentu saja pasar Wonosari. Sekarang namanya pasar Argosari.
Rumah orang tua saya kebetulan persis berhadapan dengan belakang pasar Argosari yang hanya dibatasi oleh pagar besi berduri. Saya melihat sendiri, setiap hari ada saja orang yang meninggal di pasar itu karena kurang gizi. Istilahnya waktu itu HO (hongerudim). Daging tubuh membesar tetapi kalau ditekan tidak kembali. Karena terlalu banyak minum saja.
Saat itu, bagi yang mempunyai rejeki berlebih, setiap hari diminta urunan membuat bungkusan nasi tiwhul dan lauknya. Seiklhasnya. Keluarga saya termasuk beruntung. Usaha orang tua yang tadinya jualan pakaian, beralih jualan bahan pangan gaplek dan gaber. Saya ikut berjualan. Bagi keluarga yang beruntung dan masih mempunyai anak-anak kecil, hal yang dapat menolong sehingga tidak terjadi generasi yang hilang karena kekurangan gizi adalah thiwul dan tempe mlanding. Tempe yang dibuat dari biji petai china. Daun musa tanaman petai china dipakai buat lalapan. Tempe kedelai ada tetapi mahal saat itu. Karbohidrat dapat dipenuhi dari thiwul, sedangkan protein dipenuhi dari tempe mlanding ataupun tempe kedele.
Secara politik, jaman gaber bisa dikatakan bagian implikasi dari kebijakan pemerintah Soekarno untuk “berdiri di kaki sendiri”. Kebutuhan rakyat harus dapat dipenuhi dari kekayaan yang ada di bumi sendiri. Begitulah arti sederhananya. Sangat bertolak belakang dengan kebijakan yang berorientasi kaptalisme. Politik rejim Soekarno waktu itu lebih condong pada Rusia dan China. Berlawanan politik dengan Ameriak dan sekutunya. Bersamaan dengan itu, konfrontasi dengan Malaysia juga sedang memuncak. Anggaran Negara dipakai lebih untuk membangun angkatan perang.
Jaman gaber terjadi sebenarnya bukanlah karena wilayah Gunungkidul yang tandus atau curah hujan kurang. Wilayah tandus di Gunungkidul hanya terbentang di sepanjang pantai selatan. Daerah utara yang membentang dari barat sampai ke timur adalah tanah subur dengan kedalaman top soil yang masih lebar, lebih satu meter. Curah hujan setiap tahun juga masih normal, sekitar 3000 mm. Yang memicu terjadinya susah pangan adalah lebih karena hama tikus yang menggila memakan semua hasil panen. Obat-obatan hama tikus tidak ada waktu itu. Terjadilah bencana bencana kelaparan.
Orang mungkin bertanya tanya. Mengapa jaman gaber bisa cepat berlalu? Apakah kerja pemerintah begitu hebat waktu itu? Tanpa mengesampingkan kinerja pemerintah dalam mengatasi jaman gaber waktu itu, teratasinya jaman gaber lebih terbantu karena factor alam tropis. Hama tikus hilang dengan sendirinya karena mati kurang pangan. Seperti juga manusia. Begitu tikus berangsur hilang dan musim hujan tetap berlangsung, hamparan lahan tumbuh dengan cepat tanaman jawud dan canthel. Jawud sekarang untuk makanan burung. Tanaman canthel sejenis dengan tanaman jagung. Kedua tanaman ini menjadi sumber makanan alternatif. Berangsur angsur bencana kelaparan teratasi.
Darimana tanaman jawut dan cathel itu. Tidak ada yang aneh sebenarnya. Itulah kehebatan sumberdaya alam tropis basah munsonal. Orang yang tinggal di wilayah ini harus bersyukur karena diberi “warisan” alam oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kemampuan “recovery” yang sangat tinggi. Adanya unsur tanah subur dan tersedianya air merupakan prasarat alam yang telah ada (given). Wilayah Gunungkidul termasulk didalamnya. Tanaman jawut dan canthel muncul karena sel biji ke dua tanaman ini mempunyai kemampuan tetap hidup dalam kondisi kering. Pemindahan secara alami oleh burung juga berperanan.
Epilog
Jaman gaber memberi pelajaran pada kita dalam hal budaya menghargai makanan. Kebijakan harga makanan murah —beras terutama— salah satu sisi negatifnya adalah berkembang budaya tidak menghargai nasi. Betapa sengsaranya kalau setiap perut lapar tidak ada nasi. Dalam kondisi seperti ini, uang tidak mempunyai arti apa-2. Coba perhatikan kalau kita sedang menghadiri pesta. Banyak sisa makanan yang tidak dimakan, karena mengambilnya kebanyakan. Cermin budaya tidak menghargai makanan.
Perlu di contoh bagaimana ibu-2 bangsa Jepang mendidik anak menghargai makanan sejak kecil. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Jepang pada waktu makan, saat makan nasi diambil dan ditaruh dalam mangkuk kecil. Menjadi budaya orang Jepang bahwa makakan yng sudah diambil harus habis. Jadi waktu mengambil disesuaikan dengan kebutuhan. Cara mendidik anak yang dilakukan ibu-2 orang Jepang untuk menghargai nasi dimulai saat anak mulai bisa makan sendiri. Nasi yang sudah diambil dalam mangkuk kecil harus habis. Saat hamper akhir makan, masih tersisa butiran nasi yang menempel dalam mangkuk. Anak kecil tentu tidak bisa mengambilnya pakai sumpit. Kemudian si ibu mengajarinya dengan cara mencelupkan sumpit pada kuah. Nasi yang menempel lekat dengan mangkuk jadi mudah diambil dengan sumpit.
Dari sisi lain, meledaknya jumlah penduduk akhir-akhir ini memberikan perkiraan akan terjadi krisi pangan yang kedua. Diperkirakan terjadi pada tahun 2017. Dunia sekarang dijejali dengan 7 milyar penduduk. Penduduk Indonesia pada tahun 2030 akan berjumlah 300 juta, 167 diantara tinggal di Jawa. Krisis pangan pertama terjadi sekitar tahun 1963, bersamaan dengan jaman gaber di Gunungkidul. Tentang cerita krisis pangan ini akan disampaikan dalam cerita tersendiri.
Yogyakarta, 18 April 2014
Pencerita: Sahid Susanto